Minggu, 07 April 2013

studi islam: karakteristik ajaran islam

studi islam: karakteristik ajaran islam: Karakteristik Ajaran Islam Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, tampakny...

Minggu, 03 Februari 2013

bentuk-bentuk pendekatan filosofis



Bentuk-bentuk Pendekatan Dalam Islam
STUDI ISLAM PENDEKATAN FILOSOFIS
Yang dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan. Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau menerima segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan. Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan (wisdom) dan menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat selama ini.
STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  SOSIOLOGI
Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan manusia lain,  interaksi seseorang induvidu dengan individu  yang  lain, atau individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat, organisasi dengan organisasi.
Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita.
Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Namun, terdapat kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.
Meskipun demikian, harus diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan sosial.
STUDI ISLAM PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Antropologi dalam KBBI didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau. Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang studi yang lebih elegan dan luas. Sehingga nilai-nilai dan pesan keagamaan bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Namun, dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.
Ketiga pendekatan setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.
Obyek studi antropogis terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite, upacara, totem, dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson obyek ini ada 4 kelompok :
  1. Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya, semacam soal totem.
  2. Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
  3. Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
  4. Praktik ritual sampingan seperti soal magik, ekstase dan orakel.
Monograf atau penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek pendekatan antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran
dalam antropologi agama, diantaranya :
1.    Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
2.   Aliran Historis
Tokoh aliran antropologi histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
  • Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
  • Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
  • Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
E.E.Evans Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.
3.    Aliran Struktural
Tokoh pendekatan antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya
adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.

hubungan pendidikan dengan islam



Pendidikan dengan islam

Pengertian pendidikan menurut istilah adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak mempunyai sifat-sifat dan tabi’at sesuai cita-cita pendidikan.
Sedangkan agama menurut Ensiklopedia Indonesia diuraikan sebagai berikut: “Agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya yang suci: manusia itu insaf, bahwa ada sesuatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Sehingga dengan demikian manusia mengikuti norma-norma yang ada dalam agama, baik tata aturan kehidupan maupun tata aturan agama itu sendiri. Sehingga dengan adanya agama kehidupan manusia menjadi teratur, tentram dan bermakna. Sedangkan agama (wahyu) adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasulNya, kepada kitab-kitabNya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia.

Dari beberapa pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa” pendidikan agama” adalah suatu usaha yang ditunjukkan kepada anak didik yang sedang tumbuh agar mereka mampu menimbulkan sikap dan budi pekerti yang baik serta dapat memelihara perkembangan jasmani dan rohani secara seimbang dimasa sekarang dan mendatang sesuai dengan aturan agama.

Akhlak, Moral dan Etika Pendidikan

Bila berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidikan yang telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di sekolah. Oleh karena itu usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam lingkungan pendidikan adalah penyampaian pendidikan moral (akhlak), karena akhlak merupakan pencerminan tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan ketiga term di atas, yaitu: Akhlak, moral dan etika.

Secara etimologi kata akhlak adalah bentuk jama dari kata “khuluk”, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, sedangkan menurut Ahmad Amin akhlak itu adalah kebiasaan kehendak. Secara terminologi akhlak itu berarti “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah serta tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Ada pula yang mengartikan akhlak dengan “Keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan tanpa berfikir dan melalui pertimbangan lebih dahulu”.

Dari dua pengertian di atas tampak bahwa tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara keduanya. Dalam masyarakat barat kata “akhlak” sering diidentikkan dengan “etika”, walaupun pengidentikan ini tidak sepenuhnya benar, maka mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa “etika” adalah penyelidikan tentang sifat dan tingkah laku lahiriah manusia. Sedangkan akhlak menurut M. Quraish Shihab lebih luas maknanya dari etika serta mencakup beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah, misalnya yang berkaitan dengan sikap bathin maupun pikiran.

Terlepas dari semua pengertian di atas, kata akhlak dalam penggunaannya sering disamakan dengan kata “moral” dan “etika”. Istilah moral yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin, yaitu “mores” yang berarti adat kebiasaan, sedangkan etika berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti kebiasaan. Dalam kehidupan sehari-hari moral lebih dikenal dengan arti susila. Moral mengandung arti praktis, ia merupakan ide-ide universal tentang tindakan seseorang yang baik dan wajar dalam masyarakat. Pada dasarnya akhlak, etika dan moral memiliki arti yang sama, ketiganya sama-sama berbicara tentang baik dan buruk perbuatan manusia.

Dari pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Akhlak (etika atau moral) adalah budi pekerti, sikap mental atau budi perangai yang tergambar dalam bentuk tingkah laku berbicara, berpikir dan sebagainya yang merupakan ekspresi jiwa seseorang, yang akan melahirkan perbuatan baik –menurut akal dan syari’at– atau perbuatan buruk.

Hubungan pendidikan dengan peserta didik

Peserta didik adalah orang yang mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. Peserta didik adalah hal yang paling penting dalam dunia pendidikan, karena tanpa adanya peserta didik, pendidikan tidak akan berlangsung. Lalu apakah benar anak dapat di didik? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli berbeda pandangan.

Aliran Nativisme, mempunyai pandangan bahwa anak mempunyai pembawaan yang kuat sejak dilahirkan, baik buruknya anak sangat tergantung pada pembawaan yang ada padanya, bukan dari pendidikan. Berbeda halnya dengan aliran empirisme yang mempunyai pandangan bahwa perkembangan jiwa anak sangat ditentukan oleh pendidikan atau dengan kata lain baik buruknya anak sangat tergantung pada pendidikan yang diterimanya.

Oleh karena kedua aliran ini terasa kurang memuaskan dalam hal pemberian pendidikan pada anak, maka yang menamakan dirinya aliran convergensi menepis kedua pendapat di atas, dengan mengatakan bahwa perkembangan jiwa anak sangat tergantung pada pembawaan dan pendidikan yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah SWT), kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi (HR. Muslim)”.

Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian tergantung kepada pendidikan selanjutnya. Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi oranng yang taat beragama. Tetapi sebaliknya, bilamana benih agama yang telah dibawa tidak dipupuk dan dibina dengan baik, maka anak akan menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama.

Hubungan Pendidikan dengan Islam

Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang :
(1) memiliki kepribadian Islam,
(2) menguasai tsaqofah Islam,
 (3) menguasai ilmu pengetahuan (iptek) dan
 (4) memiliki ketrampilan yang memadai.

Seperti yang telah dijabarkan di atas bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berkualitas secara lahiriyah dan bathiniyah. Secara lahiriyah pendidikan menjadikan manusia bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah hidupnya ke depan. Sedangkan secara bathiniyah pendidikan diharapkan dapat membentuk jiwa-jiwa berbudi, tahu tata krama, sopan santun dan etika dalam setiap gerak hidupnya baik personal maupun kolektif. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan akan membawa perubahan pada setiap orang sesuai dengan tata aturan.

Selain itu agama juga mempunyai peran penting dalam dunia pendidikan, banyak ayat-ayat kauniyah yang menganjurkan umatnya untuk selalu belajar kapanpun dan dimanapun, atau dengan istilah long life education sebagai motivasi agama untuk dunia pendidikan. Misalnya wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah tentang pendidikan, yaitu bagaimana kita membaca perkembangan diri sendiri, orang lain bahkan dunia dengan pengetahuan yang berorientasi agama (ketuhanan). Oleh sebab itu pendidikan agama (Islam) akan memberi “imunisasi” pada jiwa seseorang untuk selalu berada dalam jalan yang benar sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, yang selalu mengajarkan kebenaran hakiki pada setiap aktifitas pemeluknya.

Pendidikan agama pada dunia pendidikan merupakan modal dasar bagi anak untuk mendapatkan nilai-nilai ketuhanan, karena dalam pendidikan agama (Islam) diberikan ajaran tentang muamalah, ibadah dan syari’ah yang merupakan dasar ajaran agama. Hal inilah yang menjadikan pendidikan agama sebagai titik awal perkembangan nilai-nilai agama pada anak.

Sebagai contoh, Allah SWT. menganjurkan umatnya untuk bershadaqah, dengan shadaqah anak didik diharapkan peduli dengan masyarakat sekitar yang membutuhkan uluran tangah/bantuan. Shadaqah ini mengajarkan nilai-nilai sosial (muamalah) dalam berinteraksi di masyarakat. Dengan shadaqah seorang anak didik akan merasakan bahwa “saling membutuhkan” pada setiap orang adalah ciri dari kehidupan. Ini merupakan contoh kecil dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Dari contoh di atas mengajarkan “simbiosis mutualisme” dalam kehidupan yang menjadikan suatu bukti bahwa betapa pentingnya nilai-nilai agama diajarkan kepada anak, dimana dalam dunia pendidikan dicakup dalam satu bidang garapan yaitu pendidikan agama. Pendidikan agama dalam kehidupan tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, melainkan juga orang tua sebagai contoh nyata dalam kehidupan anak. Bagaimana mungkin anak akan menjadi baik, jika orang tuanya hidup dalam ketidakbaikan. Oleh karena itu pendidikan agama harus ditanamkan kepada anak dimanapun ia berada, baik formal maupun non formal.

Secara teoritis seharusnya pendidikan agama dapat membentuk kepribadian anak, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan agama yang endingnya iman dan taqwa kepada Allah Swt. Jika seseorang sudah beriman dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya, maka segala perbuatannya akan mencerminkan nilai-nilai agama, menjalankan segala yang diperintah dan meninggalkan semua yang dilarang. Seiring dengan itu maka moral/etika pun akan tercermin di dalamnya. Bagaimana mungkin seseorang yang beriman dan bertaqwa misalnya, menggunakan narkoba atau hal-hal lain yang dilarang agama. Hal ini menjadi bukti bahwa jika seorang anak telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai agama yang kuat, maka sudah dapat dipastikan moral/etika pada orang tersebut akan terbentuk dengan sendirinya, mengikuti irama iman dan kualitas taqwa yang ada padanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan Agama, dan pendidikan agama mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral anak didik. Oleh karena itu orang tua/pendidik haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.   Pendidikan agama hendaklah diberikan kepada anak sedini mungkin, ajarilah dari hal-hal yang kecil sesuai dengan tuntunan agama.
2.   Pelajaran pendidikan agama bukan merupakan science semata, melainkan ilmu amaliah tercakup di dalamnya.
3.   Anak cenderung mengikuti apa yang dilihatnya dari orang dewasa oleh karena itu hendaknya orang-orang tua membiasakan berprilaku keseharian dengan akhlakul karimah, baik perkataan maupun perbuatan.

Demikianlah , semoga apa yang menjadi tujuan pendidikan dapat tercapai dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Wallahul musta’an

karakteristik ajaran islam


Karakteristik Ajaran Islam Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, tampaknya masih merupakan suatu persoalan yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan Fazlur Rahman bernuansa historis dan filosofis. Demikian juga, Islam yang ditampilkan pemikir-pemikir dari iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Hussein Nasr, Murthada Munthahhari. Pemikiran para ilmuan Muslim dengan mempergunakan berbagai pendekatan tersebut di atas kiranya dapat digunakan sebagai bahan untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak mencoba memperdebatkannya antara satu dan lainnya, melainkan lebih mencari sisi-sisi persamaannya untuk kemaslahatan umat umumnya dan untuk keperluan studi Islam pada khususnya. A. Dalam Bidang Agama Melalui karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid banyak berbicara karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama. Menurutnya, bahwa dalam bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis Madjid adalah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Karakteristik agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan. B. Dalam Bidang Ibadah Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dikenal melalui konsepsinya dalam bidang ibadah. Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt, karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid. Visi Islam tentang ibadah merupakan sifat, jiwa, dan misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas penciptaan manusia, sebagai makhluk yang hanya diperintahkan agar beribadah kepada-Nya. C. Bidang Akidah Dalam Kitab Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang membahayakan. Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa akidah Islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya. D. Bidang Ilmu dan Kebudayaan Karakteristik Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif. Islam adalah paradigma terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban duni. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat dan peradaban-peradaban Persia, Indi dan Cina di Timur. Karakteristik Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat dari 5 ayat pertama surat Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata tersebut menurut A.Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa, juga berarti menelaah, mengobservasi, membandingkan, mengukur, mendiskripsikan, menganalisis dan penyimpulan secara induktif. E. Bidang Pendidikan Islam memaandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan dan berlangsung sepanjang hayat (long life education). F. Bidang Sosial Ajaran Islam dalam bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. G. Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam bidang kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia adalah hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhirat dicapai dengan dunia. Kita membaca hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Mubarak yang artinya : Bukanlah termasuk orang yang baik di antara kamu adalah orang yang meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang meninggalkan akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia. H. Dalam Bidang Kesehatan Ajaran Islam tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih diutamakan daripada penyembuhan. Berkenaan dengan konteks kesehatan ini ditemukan banyak petunjuk kitab suci dan sunnah Nabi Muhammad Saw. yang pada dasarnya mengerah pada upaya pencegahan diantaranya. Surat Al-Baqarah , 2:222) yang artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan senang kepada orang-orang yang membersihkan diri. Selain itu Surat Al-Mudatsir 74:4-5) yang artinya : Dan bersihkanlah pakaianmu dan tinggalkanlah segala macam kekotoran. I. Dalam Bidang Politik Dalam Alquran Surat An-Nisa’ ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pemimpin tersebut, boleh saja untuk tidak dipatuhi. J. Dalam Bidang Pekerjaan Islam memandang bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah Swt. Atas dasar ini maka kerja yang dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian terhadap Allah Swt, dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain. Untuk menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu, Islam memandang kerja yang dilakukan adalah kerja profesional, yaitu kerja yang didukung ilmu pengetahuan, keahlian, pengalaman, kesungguhan dan sebagainya. K. Islam Sebagai Disiplin Ilmu Islam juga telah tampil sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman. Menurut peratutan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985, bahwa yang termasuk disiplin ilmu keislaman adalah Alquran/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam (Fiqih), Sejarah dan Kebudayaan Islam serat Pendidikan Islam. Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mistisisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan sebagainya.

islam dengan budaya

Islam dengan budaya Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah “. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan. Ajaran-ajaran Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam. Arti dan Hakekat Kebudayaan Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan. Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan, kematian ) Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel. Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ). Hubungan Islam dan Budaya Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ? Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada. Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut. Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “ Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut. Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini. Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas. Sikap Islam terhadap Kebudayaan Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan. Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “. Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam : Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir. Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ). Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia. Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “ Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam