studi islam
Minggu, 07 April 2013
studi islam: karakteristik ajaran islam
studi islam: karakteristik ajaran islam: Karakteristik Ajaran Islam Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, tampakny...
Minggu, 03 Februari 2013
bentuk-bentuk pendekatan filosofis
Bentuk-bentuk Pendekatan Dalam Islam
STUDI ISLAM PENDEKATAN FILOSOFIS
Yang dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari
sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan
itu dengan menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah
berfikir untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan.
Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah
dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis radikal dan
universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan)
sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang
terletak diantara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang
nyata. Dengan demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara
masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah
yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau menerima
segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan.
Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang
datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya
yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan (wisdom) dan menghilangkan
kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana
yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat selama ini.
STUDI ISLAM PENDEKATAN SOSIOLOGI
Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan
interaksi manusia dengan manusia lain, interaksi seseorang induvidu
dengan individu yang lain, atau individu dengan kelompok
masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan
rakyat, organisasi dengan organisasi.
Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah
lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan
intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan
pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan
sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian
tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang
mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut
dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah
karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk
memperluas pemahaman kita.
Untuk menemukan ciri-ciri
dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini
disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri
tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan
ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah
mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana
sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti
bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari
metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki
tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan
sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan
(possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan,
diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan
menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan
seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif,
sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat
dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek
empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial
seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang
reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan
pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori,
misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah
mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak
diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali
lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama
sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas
sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi
ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan
mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply
and demand, atau stimulus and respons.
Namun, terdapat kelemahan
lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia
dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang
deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang
mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan
organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih
lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang
atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di
beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi
fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.
Meskipun demikian, harus
diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi
tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah
satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan
antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim.
Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap
Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang
dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara
atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial.
Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari
realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji
ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka
akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka.
Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas
dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik
dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama
mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan
karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan
sosial.
STUDI ISLAM PENDEKATAN
ANTROPOLOGIS
Antropologi dalam KBBI
didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul,
aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau.
Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan
ruang studi yang lebih elegan dan luas. Sehingga nilai-nilai dan pesan
keagamaan bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.
Antropologi, sebagai
sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami
agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang
holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka
sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama
dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Pendekatan antropologis sangat
penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’
(wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi
manusia dalam Islam.
Secara garis besar kajian
agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist,
structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama
dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang
intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap
masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development)
dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang
berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya
kekuatan supranatural. Namun, dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah
pada penyamaan sikap keberagamaan.
Ketiga pendekatan
setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile
Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life,
telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat
sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.
Obyek studi antropogis
terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite, upacara, totem,
dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson
obyek ini ada 4 kelompok :
- Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya, semacam soal totem.
- Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
- Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
- Praktik ritual sampingan seperti soal magik, ekstase dan orakel.
Monograf atau
penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek pendekatan
antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran
dalam antropologi agama,
diantaranya :
1.
Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional
diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski
berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun
sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional.
Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran
masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan
pandangan mereka tentang dunia.
2. Aliran
Historis
Tokoh aliran antropologi
histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri antropologi
historisnya adalah :
- Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
- Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
- Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
E.E.Evans Pritchard
berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional
seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia
menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth
yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan
mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping
itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang
dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada
di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.
3.
Aliran Struktural
Tokoh pendekatan
antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya
adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa
dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara
alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang
diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam
diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia
sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta
dipelajari. Sedangkan budaya
adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan
semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.
hubungan pendidikan dengan islam
Pendidikan dengan islam
Pengertian pendidikan menurut
istilah adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan
oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak mempunyai
sifat-sifat dan tabi’at sesuai cita-cita pendidikan.
Sedangkan agama menurut
Ensiklopedia Indonesia diuraikan sebagai berikut: “Agama (umum), manusia
mengakui dalam agama adanya yang suci: manusia itu insaf, bahwa ada sesuatu
kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Sehingga dengan
demikian manusia mengikuti norma-norma yang ada dalam agama, baik tata aturan
kehidupan maupun tata aturan agama itu sendiri. Sehingga dengan adanya agama
kehidupan manusia menjadi teratur, tentram dan bermakna. Sedangkan agama
(wahyu) adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasulNya,
kepada kitab-kitabNya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia.
Dari beberapa pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa” pendidikan
agama” adalah suatu usaha yang ditunjukkan kepada anak didik yang sedang
tumbuh agar mereka mampu menimbulkan sikap dan budi pekerti yang baik serta
dapat memelihara perkembangan jasmani dan rohani secara seimbang dimasa
sekarang dan mendatang sesuai dengan aturan agama.
Akhlak, Moral dan Etika Pendidikan
Bila berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku
manusia, dan bila berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan
bagaimana pendidikan yang telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di
sekolah. Oleh karena itu usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak
sebagai manusia yang baik dalam lingkungan pendidikan adalah penyampaian
pendidikan moral (akhlak), karena akhlak merupakan pencerminan tingkah laku
manusia dalam kehidupannya. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan ketiga term di
atas, yaitu: Akhlak, moral dan etika.
Secara etimologi kata akhlak adalah bentuk jama dari kata “khuluk”, yang
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, sedangkan menurut
Ahmad Amin akhlak itu adalah kebiasaan kehendak. Secara terminologi akhlak itu
berarti “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan
dengan gampang dan mudah serta tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Ada pula yang mengartikan akhlak dengan “Keadaan gerak jiwa yang mendorong ke
arah melakukan perbuatan tanpa berfikir dan melalui pertimbangan lebih dahulu”.
Dari dua pengertian di atas tampak bahwa tidak ada yang bertentangan,
melainkan memiliki kemiripan antara keduanya. Dalam masyarakat barat kata
“akhlak” sering diidentikkan dengan “etika”, walaupun pengidentikan ini tidak
sepenuhnya benar, maka mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika
mengatakan bahwa “etika” adalah penyelidikan tentang sifat dan tingkah laku
lahiriah manusia. Sedangkan akhlak menurut M. Quraish Shihab lebih luas
maknanya dari etika serta mencakup beberapa hal yang tidak merupakan sifat
lahiriyah, misalnya yang berkaitan dengan sikap bathin maupun pikiran.
Terlepas dari semua pengertian di atas, kata akhlak dalam penggunaannya
sering disamakan dengan kata “moral” dan “etika”. Istilah moral yang kita kenal
berasal dari Bahasa Latin, yaitu “mores” yang berarti adat kebiasaan, sedangkan
etika berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti kebiasaan. Dalam
kehidupan sehari-hari moral lebih dikenal dengan arti susila. Moral mengandung
arti praktis, ia merupakan ide-ide universal tentang tindakan seseorang yang
baik dan wajar dalam masyarakat. Pada dasarnya akhlak, etika dan moral memiliki
arti yang sama, ketiganya sama-sama berbicara tentang baik dan buruk perbuatan
manusia.
Dari pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Akhlak (etika atau moral)
adalah budi pekerti, sikap mental atau budi perangai yang tergambar dalam
bentuk tingkah laku berbicara, berpikir dan sebagainya yang merupakan ekspresi
jiwa seseorang, yang akan melahirkan perbuatan baik –menurut akal dan syari’at–
atau perbuatan buruk.
Hubungan pendidikan dengan peserta didik
Peserta didik adalah orang yang mendapatkan pendidikan dan pengetahuan.
Peserta didik adalah hal yang paling penting dalam dunia pendidikan, karena
tanpa adanya peserta didik, pendidikan tidak akan berlangsung. Lalu apakah
benar anak dapat di didik? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli berbeda
pandangan.
Aliran Nativisme, mempunyai pandangan bahwa anak mempunyai pembawaan yang
kuat sejak dilahirkan, baik buruknya anak sangat tergantung pada pembawaan yang
ada padanya, bukan dari pendidikan. Berbeda halnya dengan aliran empirisme yang
mempunyai pandangan bahwa perkembangan jiwa anak sangat ditentukan oleh
pendidikan atau dengan kata lain baik buruknya anak sangat tergantung pada
pendidikan yang diterimanya.
Oleh karena kedua aliran ini terasa kurang memuaskan dalam hal pemberian
pendidikan pada anak, maka yang menamakan dirinya aliran convergensi menepis
kedua pendapat di atas, dengan mengatakan bahwa perkembangan jiwa anak sangat
tergantung pada pembawaan dan pendidikan yang diterimanya. Hal ini sejalan
dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa “Tidaklah anak yang
dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada
Allah SWT), kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi,
Nasrani ataupun Majusi (HR. Muslim)”.
Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada dasarnya anak itu telah
membawa fitrah beragama, dan kemudian tergantung kepada pendidikan selanjutnya.
Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi
oranng yang taat beragama. Tetapi sebaliknya, bilamana benih agama yang telah
dibawa tidak dipupuk dan dibina dengan baik, maka anak akan menjadi orang yang
tidak beragama ataupun jauh dari agama.
Hubungan Pendidikan dengan Islam
Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan
sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang :
(1) memiliki kepribadian Islam,
(2) menguasai tsaqofah Islam,
(3) menguasai ilmu pengetahuan (iptek) dan
(4) memiliki ketrampilan yang
memadai.
Seperti yang telah dijabarkan di atas bahwa tujuan
pendidikan adalah membentuk manusia berkualitas secara lahiriyah dan
bathiniyah. Secara lahiriyah pendidikan menjadikan manusia bermanfaat bagi
dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah hidupnya ke depan.
Sedangkan secara bathiniyah pendidikan diharapkan dapat membentuk jiwa-jiwa
berbudi, tahu tata krama, sopan santun dan etika dalam setiap gerak hidupnya
baik personal maupun kolektif. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan akan membawa
perubahan pada setiap orang sesuai dengan tata aturan.
Selain itu agama juga
mempunyai peran penting dalam dunia pendidikan, banyak ayat-ayat kauniyah yang
menganjurkan umatnya untuk selalu belajar kapanpun dan dimanapun, atau dengan
istilah long life education sebagai motivasi agama untuk dunia pendidikan.
Misalnya wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah tentang
pendidikan, yaitu bagaimana kita membaca perkembangan diri sendiri, orang lain
bahkan dunia dengan pengetahuan yang berorientasi agama (ketuhanan). Oleh sebab
itu pendidikan agama (Islam) akan memberi “imunisasi” pada jiwa seseorang untuk
selalu berada dalam jalan yang benar sesuai dengan ajaran agama itu sendiri,
yang selalu mengajarkan kebenaran hakiki pada setiap aktifitas pemeluknya.
Pendidikan agama pada
dunia pendidikan merupakan modal dasar bagi anak untuk mendapatkan nilai-nilai
ketuhanan, karena dalam pendidikan agama (Islam) diberikan ajaran tentang
muamalah, ibadah dan syari’ah yang merupakan dasar ajaran agama. Hal inilah
yang menjadikan pendidikan agama sebagai titik awal perkembangan nilai-nilai
agama pada anak.
Sebagai contoh, Allah SWT.
menganjurkan umatnya untuk bershadaqah, dengan shadaqah anak didik diharapkan
peduli dengan masyarakat sekitar yang membutuhkan uluran tangah/bantuan.
Shadaqah ini mengajarkan nilai-nilai sosial (muamalah) dalam
berinteraksi di masyarakat. Dengan shadaqah seorang anak didik akan merasakan
bahwa “saling membutuhkan” pada setiap orang adalah ciri dari kehidupan. Ini
merupakan contoh kecil dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Dari contoh di atas
mengajarkan “simbiosis mutualisme” dalam kehidupan yang menjadikan suatu
bukti bahwa betapa pentingnya nilai-nilai agama diajarkan kepada anak, dimana
dalam dunia pendidikan dicakup dalam satu bidang garapan yaitu pendidikan
agama. Pendidikan agama dalam kehidupan tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung
jawab guru di sekolah, melainkan juga orang tua sebagai contoh nyata dalam
kehidupan anak. Bagaimana mungkin anak akan menjadi baik, jika orang tuanya
hidup dalam ketidakbaikan. Oleh karena itu pendidikan agama harus ditanamkan
kepada anak dimanapun ia berada, baik formal maupun non formal.
Secara teoritis
seharusnya pendidikan agama dapat membentuk kepribadian anak, hal ini sesuai
dengan tujuan pendidikan agama yang endingnya iman dan taqwa kepada Allah Swt.
Jika seseorang sudah beriman dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya, maka segala
perbuatannya akan mencerminkan nilai-nilai agama, menjalankan segala yang
diperintah dan meninggalkan semua yang dilarang. Seiring dengan itu maka
moral/etika pun akan tercermin di dalamnya. Bagaimana mungkin seseorang yang
beriman dan bertaqwa misalnya, menggunakan narkoba atau hal-hal lain yang
dilarang agama. Hal ini menjadi bukti bahwa jika seorang anak telah tertanam
dalam dirinya nilai-nilai agama yang kuat, maka sudah dapat dipastikan
moral/etika pada orang tersebut akan terbentuk dengan sendirinya, mengikuti
irama iman dan kualitas taqwa yang ada padanya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu
pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan Agama, dan pendidikan agama
mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral anak didik. Oleh karena itu
orang tua/pendidik haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pendidikan agama hendaklah diberikan
kepada anak sedini mungkin, ajarilah dari hal-hal yang kecil sesuai dengan
tuntunan agama.
2. Pelajaran pendidikan agama bukan
merupakan science semata, melainkan ilmu amaliah tercakup di dalamnya.
3. Anak cenderung
mengikuti apa yang dilihatnya dari orang dewasa oleh karena itu hendaknya
orang-orang tua membiasakan berprilaku keseharian dengan akhlakul karimah, baik
perkataan maupun perbuatan.
Demikianlah , semoga apa
yang menjadi tujuan pendidikan dapat tercapai dan dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Wallahul musta’an
karakteristik ajaran islam
islam dengan budaya
Islam dengan budaya
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah “. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaran Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.
Arti dan Hakekat Kebudayaan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan, kematian )
Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel.
Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).
Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam
Langganan:
Postingan (Atom)