Minggu, 03 Februari 2013

bentuk-bentuk pendekatan filosofis



Bentuk-bentuk Pendekatan Dalam Islam
STUDI ISLAM PENDEKATAN FILOSOFIS
Yang dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan. Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau menerima segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan. Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan (wisdom) dan menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat selama ini.
STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  SOSIOLOGI
Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan manusia lain,  interaksi seseorang induvidu dengan individu  yang  lain, atau individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat, organisasi dengan organisasi.
Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita.
Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Namun, terdapat kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.
Meskipun demikian, harus diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan sosial.
STUDI ISLAM PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Antropologi dalam KBBI didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau. Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang studi yang lebih elegan dan luas. Sehingga nilai-nilai dan pesan keagamaan bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Namun, dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.
Ketiga pendekatan setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.
Obyek studi antropogis terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite, upacara, totem, dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson obyek ini ada 4 kelompok :
  1. Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya, semacam soal totem.
  2. Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
  3. Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
  4. Praktik ritual sampingan seperti soal magik, ekstase dan orakel.
Monograf atau penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek pendekatan antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran
dalam antropologi agama, diantaranya :
1.    Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
2.   Aliran Historis
Tokoh aliran antropologi histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
  • Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
  • Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
  • Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
E.E.Evans Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.
3.    Aliran Struktural
Tokoh pendekatan antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya
adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar