Bentuk-bentuk Pendekatan Dalam Islam
STUDI ISLAM PENDEKATAN FILOSOFIS
Yang dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari
sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan
itu dengan menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah
berfikir untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan.
Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah
dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis radikal dan
universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan)
sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang
terletak diantara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang
nyata. Dengan demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara
masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah
yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau menerima
segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan.
Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang
datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya
yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan (wisdom) dan menghilangkan
kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana
yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat selama ini.
STUDI ISLAM PENDEKATAN SOSIOLOGI
Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan
interaksi manusia dengan manusia lain, interaksi seseorang induvidu
dengan individu yang lain, atau individu dengan kelompok
masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan
rakyat, organisasi dengan organisasi.
Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah
lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan
intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan
pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan
sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian
tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang
mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut
dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah
karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk
memperluas pemahaman kita.
Untuk menemukan ciri-ciri
dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini
disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri
tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan
ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah
mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana
sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti
bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari
metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki
tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan
sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan
(possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan,
diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan
menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan
seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif,
sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat
dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek
empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial
seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang
reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan
pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori,
misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah
mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak
diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali
lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama
sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas
sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi
ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan
mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply
and demand, atau stimulus and respons.
Namun, terdapat kelemahan
lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia
dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang
deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang
mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan
organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih
lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang
atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di
beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi
fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.
Meskipun demikian, harus
diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi
tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah
satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan
antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim.
Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap
Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang
dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara
atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial.
Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari
realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji
ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka
akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka.
Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas
dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik
dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama
mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan
karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan
sosial.
STUDI ISLAM PENDEKATAN
ANTROPOLOGIS
Antropologi dalam KBBI
didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul,
aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau.
Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan
ruang studi yang lebih elegan dan luas. Sehingga nilai-nilai dan pesan
keagamaan bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.
Antropologi, sebagai
sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami
agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang
holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka
sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama
dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Pendekatan antropologis sangat
penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’
(wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi
manusia dalam Islam.
Secara garis besar kajian
agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist,
structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama
dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang
intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap
masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development)
dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang
berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya
kekuatan supranatural. Namun, dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah
pada penyamaan sikap keberagamaan.
Ketiga pendekatan
setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile
Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life,
telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat
sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.
Obyek studi antropogis
terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite, upacara, totem,
dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson
obyek ini ada 4 kelompok :
- Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya, semacam soal totem.
- Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
- Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
- Praktik ritual sampingan seperti soal magik, ekstase dan orakel.
Monograf atau
penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek pendekatan
antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran
dalam antropologi agama,
diantaranya :
1.
Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional
diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski
berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun
sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional.
Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran
masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan
pandangan mereka tentang dunia.
2. Aliran
Historis
Tokoh aliran antropologi
histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri antropologi
historisnya adalah :
- Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
- Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
- Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
E.E.Evans Pritchard
berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional
seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia
menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth
yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan
mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping
itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang
dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada
di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.
3.
Aliran Struktural
Tokoh pendekatan
antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya
adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa
dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara
alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang
diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam
diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia
sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta
dipelajari. Sedangkan budaya
adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan
semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.